Kuasa Lingga Merajah Negara
Oleh J
KRISTIADI Peneliti Senior CSIS
Salah satu
daya pikat Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam kampanye pemilihan umum presiden
adalah tekadnya, jika terpilih hanya akan tunduk pada kehendak rakyat dan
konstitusi. Itikad tersebut semakin menggema karena didukung pimpinan partai
politik pendukung serta tokoh lain yang dekat dengan Jokowi. Pernyataan mereka
tegas: tidak akan menagih dukungan dengan meminta jatah portofolio kementerian
dalam kabinet. Mereka memercayakan semua itu kepada pasangan Jokowi-Kalla asal
kebijakannya berguna untuk rakyat.
Harapan
masyarakat sangat besar ke pundak Jokowi-Kalla. Tidak kurang majalah Time,
edisi 27 Oktober 2014, laporan utamanya bertajuk "A New Hope; Indonesian
President Joko Widodo is a Force for Democracy". Namun, kumandang janji
tersebut semakin sayup seiring dengan penyusunan Kabinet Indonesia Hebat dan
dilanjutkan dengan pengangkatan pejabat publik pada level yang lebih rendah.
Dalam melakukan perekrutan, Jokowi tidak dapat melepaskan diri dari cengkeraman
kekuasaan para patron politiknya. Padahal, Jokowi pemegang mandat kekuasaan
tertinggi dalam mengelola roda pemerinthhan. Para patron politik tidak peduli
terhadap kredibilitas Jokowi yang dipilih rakyat dan memikul harapan rakyat.
Rakyat mulai kecewa pada performa Jokowi-Kalla.
Kredibilitas
Jokowi-Kalla semakin dipertaruhkan ketika Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang
dijadikan tersangka olek KPK dicalonkan sebagai Kapolri. Bahkan, dalam kasus
ini, relasi antara Jokowi dan Kalla tampak tidak terlalu hangat. Pencalonan
tersebut dirasakan sangat dipaksakan, di luar kemauan Jokowi.
Hubungan
patronase antara Jokowi dan pimpinan partai politik semakin menguat. Bola liar
isu ini terus menggelinding dengan ditangkapnya Bambang Widjojanto, Wakil Ketua
KPK, yang ditetapkan menjadi tersangka. Isu ini akan semakin memanas Icarena
penangkapan Bambang itu dianggap bagian dari pelemahan KPK yang selama ini
berhasil membuat para koruptor merinding. Penguatan pelemahan KPK berkorelasi
positif dengan semakin banyaknya para penguasa, baik mereka yang berasal dari
lembaga legislatif maupun elcselcutif, menjadi pesakitan KPK. Membiarkan KPK
menjadi bulan-bulanan para penikmat kekuasaan merupakan sandyakala, meredupnya
semangat perlawanan terhadap kejahatan luar biasa (korupsi). Oleh karena dapat
dipastikan, rakyat akan melakukan perlawanan keras.
Pertanyaannya,
mengapa patronase politik masih sangat kukuh mencengkeram dunia politik di
Indonesia? Padahal, praktik demokrasi selama lebih kurang 16 tahun ini berhasil
memilih ribuan wakil rakyat di tingkat pusat dan daerah, serta presiden/wakil
presiden. Bahkan, pilkada langsung sampai sekarang telah dilakukan hampir 1.200
kali! Mengapa?
Mungkin salah
satu jawabannya adalah konsep kekuasaan budaya Jawa yang diinterpretasikan oleh
Benedict Anderson, "The Idea of Power in Javanese Culture", dalam
Claire Holt (ed), Culture and Politics in Indonesia (1972). Ia membuat
distingsi dikotomik antara konsep kekuasaan Barat dan Jawa. Menurut dia, konsep
kekuasaan Barat adalah abstraksi yang dideduksi dari relasi sosial yang mempunyai
sumber beragam, seperti teknologi, kemampuan ekonomi, kesejahteraan, sehingga
akumulasi kekuasaan dapat tidak terbatas. Konsep kekuasaan Jawa bersifat
konkret, homogen, dan tetap. Kekuasaan berasal dari sumber yang sama dan tidak
dapat dibagi-bagi, hanya dapat berpindah dari seseorang kepada orang lain
melalui ritual mendapatkan wahyu.
Besarnya
kekuasaan juga dapat dilihat dari tingkat fertilitas penguasa. Semakin subur
seseorang, semakin besar kekuasaannya. Ia menjadi penjamin kesuburan tanah,
kemakmuran masyarakat, dan vitalitas melakukan ekspansi atau memperluas wilayah
negara. Maim, menurunnya kemampuan aktivitas seksual dianggap mulai pudarnya
kekuasaan. Terdapat hubungan erat antara seksualitas dan kekuasaan. Kejantanan
menjadi salah satu ukuran kekuasaan.
Oleh sebab
itu, Anderson menginterpretasikan Monumen Nasional (Monas) adalah perwujudan
dari lingga sebagai lambang tegaknya kekuasaan. Untuk memperkuat
argumentasinya, Anderson mengutip cerita rakyat tentang wafatnya Amangkurat II
(1703). Ahli warisnya bukan Amangkurat III, melainkan Pangeran Puger yang
memihak Belanda. Kisahnya, ketika Pangeran Puger melayat, hanya dia yang dapat
melihat di ujung kelelakian (lingga) kakaknya (Amangkurat II) terlihat sinar
sebesar biji merica. Tidak seorang pun mampu melihat fenomena tersebut selain
dia. Ia menelan sinar itu dan kemudian lingga yang semula tegak menjadi lembek.
Itu pertanda, wahyu kekuasaan telah pindah dari Amangkurat II kepada Pangeran
Puger.
Politik
patronase adalah kuasa lingga. Ia telah merajah negara. Perlawanan hanya dapat
dilakukan dengan peradaban Baru yang memuliakan kekuasaan. Karena itu, revolusi
mental jangan hanya menjadi retorika, tetapi hams menjadi agenda politik yang
nyata sehingga menghasilkan tatanan kekuasaan yang menghargai martabat manusia
sekaligus memuliakan warisan nilai-nilai budaya yang merawat keharmonisan
kehidupan bersama.
Bagi Jokowi,
saat ini adalah moment of truth untuk menentukan piihan: menyerah kepada
kendali patronase politik atau tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat.
Pilihan pertama, is tetap menjadi presiden, tetapi hanya diperlakukan sebagai
"boneka politik". Pilihan kedua, berjuang habis-habisan bersama
rakyat mengukir Indonesia yang maju, adil makmur, dan berkeadilan.